Oleh: Dheni Kurnia
Satukata.co– Saya dua periode menjadi ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Provinsi Riau (2007-2017). Dua kali juga dilantik oleh dua orang hebat yang saya sukai dan kagumi gayanya.
Periode pertama, saya dilantik oleh Tarman Azam (Alm). Periode kedua, saya dilantik oleh Margiono, yang meninggal dunia 1 Februari 2022 lalu. Tapi saya tak lama merasakan kepemimpinan Tarman Azam. Hanya setahun. Karena 2008 Margiono menggantikan Tarman sebagian Ketua PWI Pusat. Margiono terpilih menjadi Ketua Umum PWI dua periode, 2008-2018.
Praktis, masa jabatan saya menjadi Ketua PWI Riau, banyak berurusan dengan Margiono. Karena jabatan kami hampir bersamaan. Selama dia menjabat, Margiono sering ke Riau. Dalam catatan saya, Margiono enam kali berkunjung.
Saya merasakan, sangat enak menjadi ketua PWI di zaman Margiono. Karena saya gak perlu menyiapkan segala kebutuhan pejabat pusat PWI itu. Saya gak perlu menyiapkan tiket pesawat, hotel, maupun hal-hal kecil lainnya. Dia sering tak mau dibayarin tiket. Apalagi minta pesawat kelas satu atau hotel berbintang. Karena lebih suka bayar sendiri, atau sudah ada yang mengurusnya. Maklum, dia juga pejabat tinggi di Jawa Pos Grup, media milik JPNN yang cukup menjamur di Riau.
Terkadang malah saya gak tahu Margiono sudah sampai ke Riau. Tiba-tiba sudah menelepon; “Dheni, kamu dimana?”. Saya bilang saya di kantor. “Kita ketemuan ya. Dimana makan yg enak,” katanya.
Dalam kekagetan saya, ternyata dia sudah sampai di Riau, sehari sebelum acara yang saya gelar dimulai. Mengenai makan, Margiono memang pemakan yang hebat. Dia bisa menghabiskan setengah kilo patin ikan pedas, sekali duduk.
Terkadang pula, saya tidak tahu dia sudah pulang ke Jakarta, tanpa memberitahu saya. Beberapa kali, usai acara dia minta izin. Katanya mau ke rumah saudaranya. Margiono memang punya banyak saudara sekampungnya, Tulungagung Jatim, di Pekanbaru. Kemudian, ketika saya hubungi, teleponnya tak aktif. Malamnya dia kontak bahwa sudah sampai Jakarta. Dia pulang sendiri, tanpa kami urus.
Jika dia ke Riau, beberapa kali pula, saya mendapat “hadiah tak terduga” dari beberapa bupati di Riau. Satu ketika, ada peringatan HPN Provinsi yang dipusatkan di Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Margiono ikut hadir. Usai acara, Bupati Inhil menitipkan oleh-oleh dan kertas tertutup ukuran besar buat Margiono. Tapi ketika saya beritahu padanya, dia bilang; “Simpan aja buat kamu.”
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hilir. Semua yang dititipkan pejabat daerah untuk Margiono, semuanya pula diserahkan kepada saya. Tapi sesampai di Pekanbaru dia mengatakan; “Lain kali kalau saya ke Riau, bilang sama bupati atau siapapun, jangan nitip-nitip buat saya.” Hahaha. Terlambat mas, jawab saya.
Sebenarnya, saya sudah lama mengenal Margiono. Tahun 1991 hingga 1993, saya bertugas di Harian Surya Surabaya, jaringan media milik Harian Kompas Grup di daerah. Ketika itu, Margiono sudah jadi wartawan hebat di Jawa Pos, Surabaya.
Saat itu, saya mengenalnya sebagai pribadi yang hangat, bersahabat dan guyonan. Bicaranya serius, tapi sering membuat saya terpingkal. Beberapa kali juga, saya ditraktir makan olehnya. Selalu, jika bersama Margiono, saya gak pernah membayar. Saya selalu kalah dulu, jika soal bayar membayar dibanding Margiono.
Padahal waktu itu, “persaingan” antara Jawa Pos dan Harian Surya, cenderung “berdarah-darah”. Saya menyebut kata berdarah, karena ada yang tewas di jalanan saat mobil koran yang membawa Jawa Pos menyalip mobil Surya, sehingga terjadi insiden yang menewaskan beberapa orang.
Tahun 1999, saya berhenti dari Persda (Pers Daerah) Kompas. Saya kemudian diterima bekerja di Harian Sumatera Ekspres, Palembang Sumsel, yang tergabung di JPNN (Jawa Post News Network). Saya menelepon Margiono. Saya katakan, bahwa saya kini menjadi anak buahnya.
“Tapi dia menjawab, dari dulu kan saya sudah jadi bos kamu. Karena saya sering bayarin kamu makan.”candanya.
“Kemudian dia tertawa. Candanya kadang keterlaluan. Karena hanya membayari saya ngopi dan makan, dia dah mengaku sebagai atasan saya,”sambungnya.
Beberapa tahun setelah itu (2005) saya pulang kampung ke Riau. Saya minta berhenti dari JPNN. Pada pemilihan ketua PWI Riau tahun 2007, saya maju dan saya menang. Saya dilantik oleh Tarman Azam, yang seluruh biaya perjalanannya mulai dari tiket, hotel sampai oleh-oleh ditanggung oleh PWI Riau.
Ketika 2008, Margiono maju sebagai ketua PWI Pusat yang Kongresnya dilaksanakan di Banda Aceh. Sebagai Ketua PWI Riau, saya tentu memiliki suara untuk memilih. Margiono mendatangi saya ke kamar. Ketika itu, saya bersama Zufra Irwan (juga pengurus PWI Riau). Margiono kemudian duduk di lantai kamar hotel. Kami jadi sungkan. Tapi dia santai aja. Malah dengan gayanya, dia mengatakan, apakah saya masih mengenal bosnya?
Margiono kemudian terpilih menjadi Ketua PWI Pusat lima tahun ke depan. Bahkan 2013 dia terpilih kembali menjadi Ketua PWI hingga 2018. Dan, selama itu pulalah saya merasa sangat lega menjadi Ketua PWI Riau. Dia menghapuskan iuran kartu anggota. Dia tidak menganjurkan melayani pengurus PWI Pusat yang berkunjung ke daerah. Dia menekan saya untuk membangun kantor PWI Riau yang representatif. Dia meminta saya jangan takut ditekan siapa saja sebagai Ketua PWI. “Kamu hanya boleh takut pada saya,” katanya sambil tertawa lebar.
Begitulah. Ketika jabatan saya berakhir sebagai Ketua PWI Riau, setahun setelah itu Margiono pun lengser. Dan saya tak pernah berjumpa lagi hingga akhirnya saya mendapat kabar dia meninggal dunia karena Covid 19.
Saya terhenyak, ketika membaca kabar duka itu. Lama saya termenung. Kenapa bisa covid mengalahkan Margiono yang hebat. Apakah tak ada penyakit lain yang lebih mulia, yang mengantarkannya ke liang lahat. Mungkin hanya Allah SAW yang tahu. Karena itu memang hak prerogatif Yang Maha Kuasa. Saya hanya sedih teringat kebaikan, profesionalitas dan gaya kepemimpinannya. Meski kelak saya dan teman-teman lainnya akan menyusul Margiono, tapi hari ini, kami benar-benar kehilangan.
Karena Margiono, memanglah wartawan hebat. Tak kalah oleh waktu, pengetahuan, jabatan dan profesionalisme. Di mata saya, sejak mengenalnya 1991, dia seorang yang mampu menerobos dunia jurnalistik hingga puncaknya. Dia seorang wartawan yang gigih, tak pernah menyerah, santun, berkarakter, mengayomi, penghibur, mau berkorban, meski kadang kata-katanya agak nyeleneh.
Sebagai wartawan gigih, tangguh dan tak pernah menyerah, saya tahu Margiono bersama teman-temannya ikut melebarkan sayap Jawa Pos di seluruh pelosok tanah air. Bahkan kemudian, ketika berdiri membangun Harian Rakyat Merdeka, tiang bendera yang dipancangkannya berkibar hingga kini.
Sebagai pemimpin, dia terampil dan tidak pernah menyalahkan siapapun. Dia memimpin organisasi wartawan terbesar dan tertua, nyaris tak ada gugatan. Dia salah satu tonggak dalam mengangkat harkat dan martabat organisasi serta wartawan. Pernah pula Margiono jadi Wakil Ketua Dewan Pers di masa Prof Bagir Manan. Di zamannya, tak pernah ada organisasi lain yang berani mengotak-atik dan mengecilkan peran Dewan Pers.
Memang dia pernah gagal. Tapi itu bukan bidangnya. Bukan profesinya sejak awal. Tahun 2018, dia pernah maju sebagai bupati di daerah kelahirannya. Namun dia dikalahkan oleh seorang yang diduga koruptor. Belakangan dia tersadar, dan balik ke pangkal jalan.
Dan sebagai penghibur, saya sudah membuktikan, dia mampu membuat banyak orang tertawa, minimal tersenyum. Ini mungkin bakat alam atau karena dia penyuka grup lawak Srimulat di era muda. Atau pula karena dia seorang dalang yang memiliki selera humor tinggi.
Bahkan, saat menjadi Ketua PWI Pusat, orang selalu menunggu-nunggu pidatonya setiap tahun di HPN. Pidato yang ringan, menyentil, kadang menusuk, tapi bisa membuat orang terbahak, termasuk Presiden RI. Guyonannya, menurut saya, adalah salah satu daya tarik HPN, untuk wartawan tetap hadir.
Kini saya hanya bisa berdoa agar Almarhum husnul khotimah. Diampunkan Alllah dosa-dosanya, dan dibalas segala kebaikannya. Bertetes air mata kesedihan saya, mungkin bisa diteguknya di Surga Allah.
Saya ingin menuliskan juga satu pantun yang disampaikan Margiono pada acara di rumah Gubernur Riau, Anas Makmun. Ketika itu dia mengucapkan terimakasih atas pembangunan Kantor PWI Riau oleh Pemerintah Provinsi Riau (2009-2012) dengan dana hampir 14 miliar rupiah. Kata Margiono; Ikan hiu terjerat ranjau/Thank you Pak Gubernur Riau.
H. Dheni Kurnia, Ketua PWI Riau (2007-2017), Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Riau 2017-2022 dan Ketua JMSI Riau 2020-2025.*