Satukata.co – Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Mulawarman (Unmul) telah menangani 21 kasus kekerasan seksual dalam dua tahun terakhir.
Kasus-kasus tersebut diduga melibatkan sejumlah pihak, mulai dari wakil dekan hingga guru besar. Para pelaku yang diduga terlibat telah direkomendasikan untuk dikenakan sanksi.
Dalam keterangan tertulis pada Senin, 5 Agustus 2024, Ketua Satgas PPKS Unmul, Haris Retno, mengungkapkan bahwa dari 21 kasus kekerasan seksual, tiga di antaranya melibatkan dosen.
Dosen-dosen tersebut adalah pejabat kampus, dengan salah satu di antaranya merupakan wakil dekan dan yang lainnya adalah guru besar.
“Wakil dekan tersebut akhirnya kami rekomendasikan untuk diberhentikan sepenuhnya sebagai dosen. Sedangkan guru besar dicopot sementara dari jabatannya karena kasusnya masih berlangsung,” ujar Haris Retno.
Rekomendasi tersebut telah diproses oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Saat ini, wakil dekan tersebut tidak diperkenankan mengajar di fakultasnya.
Retno juga menguraikan berbagai bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh beberapa akademikus. Kasus yang melibatkan wakil dekan terjadi saat proses bimbingan tugas akhir.
Berdasarkan pemeriksaan Satgas PPKS Unmul, wakil dekan tersebut terbukti melakukan pelecehan seksual fisik sesuai pasal 5 ayat (2) huruf I dalam Permendikbudristek 30/2021.
“Bentuknya yaitu menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokkan bagian tubuhnya di tubuh korban tanpa persetujuan korban,” jelas Retno.
Sementara itu, kasus yang melibatkan guru besar dikenakan pasal 5 ayat 2 huruf C, D, dan I dalam Permendikbudristek 30/2021.
Guru besar tersebut terbukti melakukan pelecehan seksual baik secara verbal maupun fisik. Menurut Retno, ada enam pelapor dalam kasus ini.
Satgas PPKS Unmul dibentuk pada 31 Agustus 2022 melalui SK Rektor Unmul 2539/UN17/HK.02.03/2022 sebagai tindak lanjut dari Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Regulasi tersebut mewajibkan setiap kampus negeri untuk membentuk satuan tugas khusus penanganan kekerasan seksual.
Ketua Divisi Advokasi Satgas PPKS Unmul, Orin Gusta Andini, memberikan keterangan tambahan.
Ia menyatakan bahwa regulasi yang ada telah mendukung proses penanganan kasus kekerasan seksual, termasuk perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Sehingga baik korban, saksi, maupun pendamping, tidak dapat dijerat secara pidana atau perdata,” ujar Orin yang juga merupakan pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.
Orin meminta korban maupun saksi kasus kekerasan seksual tidak khawatir dijerat dengan pasal pencemaran nama baik.
Namun, ia menekankan bahwa perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kasus yang dilaporkan melalui kanal resmi. Jika kasus tersebut diviralkan di media sosial, menurutnya, pelapor atau saksi sulit mendapatkan perlindungan.
Psikolog dari Unit Pelayanan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Ayunda Ramadhani, memberikan apresiasi atas kinerja Satgas PPKS Unmul.
Ia menyatakan bahwa kasus-kasus yang melibatkan dosen sering terjadi karena adanya relasi kuasa.
“Biasanya, pelaku (kekerasan seksual) memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga korban kerap takut melapor karena pelaku terpandang di masyarakat,” katanya.
Ayunda berharap Satgas PPKS Unmul dapat bekerja sama dengan pihak lain. UPTD PPA siap untuk berkolaborasi agar kasus yang masuk ranah pidana dapat ditangani secara komprehensif, pungkasnya.