Satukata.co – Memasuki perhelatan Pilkada serentak 2024, publik nampaknya dibuat gumoh bahkan heran oleh kelakuan para calon-calon pemimpin daerah. Putra-putri daerah yang digadang akan membawa perubahan, kemajuan, dan tagline lainnya, kini justru terbawa arus oleh fenomena “Pilkada Core”. Suatu fenomena yang menampilkan kompilasi momen-momen lucu bahkan kontroversial dalam forum terbuka atau debat calon kepala daerah.
“dan yang ketiga, saya akan membuat produk baru seperti brambang (bawang merah), kita buat brambang goreng dan sebagainya. Beras akan kita buat menjadi e.. padi akan kita buat menjadi beras. Saya kira itu,“ ucap Ita calon Bupati Nganjuk nomor urut 2 pada forum debat Bupati Nganjuk.
“nomor dua adalah kombinasi dari dua generasi, generasi milenial dan generasi kolonial, ucap Dirham Aksara calon Wakil bupati Lamongan nomor urut 2 dalam forum Pengundian Nomor Urut Calon Bupati dan Wakil Bupati Lamongan.
“karena kami kesatuan calon Bupati dan Wakil Bupati, maka saya akan memanggil pasangan saya,” ujar Farida Calon Wakil Bupati Bojonegoro nomor urut 1 (satu).
Dilanjutkan dengan, “Apakah salah saya berdiri disini..
Peraturan mana yang saya langgar, peraturan mana yang saya langgara,” ucap Calon Bupati Bojonegoro saat debat calon wakil bupati Bojonegoro.3
Diatas adalah sedikit cuplikan dari beberapa momen yang menyebar di media sosial dengan tajuk “Pilkada Core”. Penggunaan frasa core di media sosial telah menjamur dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Oxford Dictionary, core adalah bagian paling penting atau sentral dari suatu hal. 4 Core dapat juga dimaknai sebagai bagian utama dari suatu benda. Namun apabila kita melihat dalam penggunaannya di media sosial, telah terjadi penyimpangan makna. Alih-alih menjadi bagian inti suatu hal (dalam ini muatan dalam konten), core justru merujuk pada kumpulan konten yang menampilkan suatu sifat atau karakter, seperti kelucuan, keindahan, dll. Penggunaan kata ‘core‘ yang sedang tren seringkali melekat pada berbagai isu kontemporer, termasuk Pilkada. Fenomena Pilkada Core menjadi viral di media sosial, terutama bertepatan dengan momen-momen debat calon kepala daerah. Karakteristik konten Pilkada Core didominasi oleh eksposur kelemahan para kandidat, mulai dari ketidaksiapan, kurangnya pemahaman, hingga berbagai kejanggalan yang tampak selama debat. Konten semacam ini juga sering menampilkan sisi buruk kandidat dalam forum publik. Berikut adalah beberapa poin
analisis penulis terkait fenomena Pilkada Core:
- Etika Politik
Dalam beberapa video yang tersebar melalui Pilkada Core, menampilkan momen- momen calon kepala daerah yang jauh dari garis standar etika. Para kandidat ini tidak hanya tampak kuang bijaksana, tetapi juga memperlihatkan kurangnya persiapan dan pemahaman mengenai isu-isu yang seharusnya mereka kuasai. Kesalahan-kesalahan ini berakitabt fatal bukan hanya bagi kampanye mereka sendiri, tetapi juga bagi persepsi publik terhadap kompetensi dan integritas calon tersebut.
Kepribadian yang tercemin dari sikap dan kata-kata mereka dalam situai tersebut menggambarkan ketidaksesuaian dengan figur seorang pemimpin. Dalam konteks kompetisi politik, terlebih di forum-forum publik, calon kepala daerah seharusnya mematuhi kaidah etika dan sopan santun dalam berdebat. Sebagai tokoh yang diharapkan menjadi panutan, setiap perilaku yang menyinggung dari norma kepatutan hanya akan merusak fondasi kepemimpinan yang seharusnya dibangun diatas nilai profesionalisme, kejujuran, dan integritas
2. Dampak Pilkada Core
Fenomena Pilkada Core muncul sebagai panggung yang memperlihatkan kelayakan kandidat pemimpin daerah. Popularitas Pilkada Core membawa konsekuensi terhadap elektabilitas para kandidat. Salah satu efek signifikan dari viralnya konten Pilkada Core adalah fluktuasi tingkat kepercayaan masyarakat, yang dipengaruhi oleh bagaimana kekuatan dan kelemahan masing-masing calon terekspos. Dalam sesi debat kandidat, seringkali terlihat momen-momen dimana peserta kesulitan mengendalikan emosi dan perilaku, seperti penyajian visi misi yang terlalu berlebihan, program kerja yang tidak realistis, serta ketidak mampuan merespons pertanyaan dengan tepat.
Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya sikap skeptis publik terhadap baik kandidat maupun institusi penyelenggara pemilihan. Masyarakat dapat dengan cepat menyimpulkan kelemahan sistem pemilihan yang ada. Transparansi ini membuat publik semakin kritis dalam mengevaluasi proses seleksi yang dinilai gagal menjamin hadirnya kandidat berkualitas. Akhir buruknya adalah, masyarakat akan kehilangan raasa hormat dan kepercayaan kepada calon pemimpin yang gagal menampilkan keteladanan. Hal ini berpotensi memperburuk partisipasi publik dalam proses demokrasi, karena pemilih meungkin merasa tidak ada figur pemimpin yang layak mewakili aspirasi mereka. Maka, dalam setiap kesempatan publik, seorang calon harus berhati-hati untuk menjaga citra diri dan menunjukkan kualitas kepemimpinan yang selayaknya.
Selain itu, aspek yang kerap terabaikan dalam fenomena Pilkada Core adalah masalah pelanggaran hak privasi dan pencemaran nama baik. Meski persaingan politik adalah bagian tak terpisahkan dari negara demokratis, termasuk dalam konteks pilkada, terdapat praktik-praktik yang tetap saja merugikan pihak tertentu diluar batas wajar etika berkompetisi. Apabila kita telaah lebih dalam, dominasi konten yang menyebar menunjukkan konten tersebut berisikan unsur penghinaan, ujaran kebencian, dan penggiringan opini yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, hingga menciptakan narasi- narasi negatif.
Pola ini umumnya muncul dalam potongan-potongan video pendek yang diedit secara tidak proporsional, memotong pernyataan atau tindakan para kandidat hingga
makna aslinya menjadi bias atau terdistorsi. Penyebaran kontek-konten ini bukan hanya berpotensi merusak reputasi para calon, tetapi juga dapat melanggar ketentuan hukum yang berlaku yaitu UU ITE / Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didalamnya juga mengatur mengenai pecemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu yang dapat membentuk opini publik secara manipulatif.
Lebih jauh, distribusi konten semacam ini tidak hanya berdampak pada individu yang menjadi target, tetapi juga beresiko menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Publik yang disuguhi konten dengan muatan negatif dan tidak proporsional akan kesulitan mendapaatkan infomasi yang akurat dan kredibel mengenai para calon pemimpin. Terlebih hal ini sejajar dengan maraknya habit masyarakat yang menginginkan sesuatu dalam bentuk instan. Akibatnya, penilaian publik terhadap calon bisa didasarkan pada persepsi yang salah, bukan pada program atau kompetensi sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap privasi dan reputasi/nama baik kandidat dalam kompetisi politik adalah aspek yang penting untuk dijaga, demi terciptanya demokrasi yang sehat dan adil bagi semua pihak.
Kemunculan Pilkada Core merupakan manifestasi dari perkembangan teknologi dan meningkatnya kesadaran masyarakat. Sebagai fenomena yang tak terbendung, hal ini justru menunjukkan eksistensi nilai-nilai demokratis. Secara tidak langsung, Pilkada Core telah menjadi sarana kritik sosial masyarakat yang menginginkan hadirnya pemimpin yang memenuhi standar profesionalisme, kejujuran, dan integritas. Performa kandidat dalam forum-forum publik menjadi parameter langsung kapabilitas mereka. Dalam konteks hukum dan etika politik, fenomena ini mengindikasikan pentingnya pembaharuan sistem seleksi dan debat kandidat, yang tidak sekadar memenuhi syarat administratif, tetapi juga mampu mengakomodasi harapan publik akan kompetensi dan kualitas kepemimpinan yang memadai.
Afizah Nur Afkarina “mahasiswa fakultas hukum universitas Mulawarman”