Dalam menghargai anugerah kehidupan yang kita miliki, kita mengenal istilah self love, yakni menerima apa yang disebut dengan kelemahan, menghargai apa yang disebut kekurangan karena hal tersebut membuat individu menjadi diri sendiri, dan memiliki belas kasih terhadap dirinya sendiri.
Istilah self love merupakan penggambaran bahwa setiap individu wajib menerima dan menghargai seluruh komponen dalam dirinya sendiri. Mencintai diri apa adanya merupakan wujud rasa syukur terhadap apa yang Tuhan berikan kepada diri kita. Self love tidak hanya menerima kekurangan diri tetapi menjadi sarana untuk memperbaiki apa yang kurang pada diri kita.
Dengan mencintai dan menerima segala kelemahan dan kekurangan diri, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada individu untuk menerima kekurangan dan kelebihan diri orang lain pula.
Namun tidak selamanya self love dapat berjalan dengan baik. Hal ini di karenakan besarnya pengaruh social standart terhadap seluruh aspek dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh, standard cantik yang digeneralisasikan oleh masyarakat kalangan Asia bahwa cantik didefinisikan dengan kulit yang putih, tinggi, badan yang langsing dan segenap social standard yang melekat dalam kata ‘cantik’ tersebut.
Contoh lain misalnya kata sukses yang selalu di standarkan dengan pekerjaan, jabatan, uang, barang mewah serta segenap arti kata ‘sukses’ lainnya. Konstruksi pemikiran masyarakat seperti inilah yang pada akhirnya membenarkan beberapa standar yang tidak sesuai dengan hak dan penerimaan diri di kalangan masyarakat. Social standart menyumbang begitu banyak kasus self love pada diri individu sehingga memaksakan diri untuk mencapai standar yang telah ditentukan oleh masyarakat di sekeliling kita.
Hal ini di perparah dengan latar belakang pendidikan dan pola asuh di kalangan masyarakat Indonesia yang diturunkan dengan pemikiran sedemikian rupa sehingga timbul lah anggapan bahwa jika tidak memenuhi social standar kehidupan maka seseorang belum layak untuk menerima pengakuan sebuah pencapaian pada dirinya.
Pendidikan dan pola asuh di kalangan keluarga Indonesia tidak terbiasa untuk mengajarkan anak agar lebih menghargai diri, menerima kekurangan diri dan berusaha memahami bahwa setiap individu dibekali dengan kelebihan dan kekurangan.
Kondisi ini dapat dikurangi dengan memahami bahwa terkadang it’s okay not to be okay, bahwa tidak semua hal dalam hidup harus berjalan sesuai dengan standar orang lain.
Sebaliknya menerima kekurangan diri, menerima kegagalan dan segala hal yang belum tercapai pada diri kita sejatinya kita telah sampai pada hakikat manusia sesungguhnya. Belajar untuk lebih mengenal dan mencintai diri, melepaskan rasa bersaing dan selalu menjadi unggul, menikmati apa yang ada pada diri sesungguhnya merupakan modal utama dalam menjalani kehidupan sehingga mencapai kebahagiaan versi diri sendiri dan be just be the best version of you.
Penulis: Rega Armella, MPd